Tampilkan postingan dengan label religion. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label religion. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 17 September 2011

perbedaan antara al haq dan al batil

Dimulai dengan Surat 2:42
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.
3:71
Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya?
“Jangan campur adukkan yang HAQ dengan yang BATIL”. Kalimat Tersebut yang paling sering kita dengar dari mulut para DA’I atau ustad apabila menyampaikan ceramah. Sayangnya hamper tidak pernah dijelaskkan oleh beliau apa itu “HAQ” dan apa yang dimaksud dengan “BATIL”.

Selama ini sayapun tidak pernah tahu dengan persis apa itu Haq dan apa tiu Batil. Apa yang bias say tanggap dari para DA’I/Ustad tersebut hanyalah bahwa yang Haq itu adalah yang baik-baik dan yang Batil itu yang buruk-buruk. Mereka memberikan contoh misalnya, jangan kamu habis mencuri lalu bersedekah atau habis sembahyang mencuri sandal dll.
Suatu hal yang paling saya syukuri adalah saya masih memiliki banyak waktu untuk membuka-buka Al-Quran sebelum malaikat maut dating menjemput.

Jumat, 16 September 2011

sejarah kata "amin" dan hubungannya terhadap paganisme kuno mesir

Pendahuluan

Kebanyakan dari kita yang pernah menghadiri kegiatan berkumpul di hari Jum'at akan langsung menyadari pentingnya kata "amin" atau "aamiin" dalam kehidupan kaum Muslim tradisional. Bagi anda yang tidak terlalu mengetahui dengan penggunaannya, kaum Muslim diharuskan mengucapkan "amin" setelah melantunkan Surah al-Fatihah dan setelah membaca doa. Sebenarnya, ini adalah satu-satunya kata yang diucapkan dengan keras saat shalat Jum'at bagi kaum Muslim tradisional (skg termasuk subuh, maghrib dan isya) setelah si imam menyelesaikan bacaan. Tujuan dari artikel ini adalah berusaha untuk mengetahui arti kata tersebut dan melacak sumber asli kata tersebut dalam sejarah.

Alasan Mengapa Kaum Muslim Mengatakan Amin

Merupakan suatu fakta yang diketahui, atau hampir diketahui, oleh semua orang bahwa kata ini sama sekali tidak terdapat di dalam Al-Qur'an. Lalu mengapa kaum Muslim tradisional begitu menganggap suatu kata yang bahkan tidak bisa ditemukan dalam kitab terakhir sebagai kata yang begitu penting? Ya, tebakan anda benar, bahwa kata ini bisa ditemukan di dalam Hadits, sumber kedua mengenai (dis)informasi urusan agama bagi kaum Muslim tradisional setelah Al-Qur'an. Dalam Shahih Bukhari Volume 6, Buku 2, terjemahan Inggris oleh Dr. M. Muhsin Khan, kita menemukan lagi suatu permata dari buah tulisan Abu Huraira. (Bila anda mengunjungi http://www.usc.edu/dept/MSA/fundamentals/hadithsunnah/bukhari/, maka hadits tersebut terletak dalam Volume 1, Buku 12, Hadits nomor 749)

Terjemahan:
Narasi oleh Abu Huraira: Nabi Allah bersabda, "Ketika sang Imam mengucapkan: 'Ghairil-maghdhuubi 'alaihim waladh-dhaalliin [bukan jalan yang Engkau murkai, dan bukan jalan mereka yang sesat (1:7)], maka kamu harus mengatakan, 'Amin,' karena jika ucapan 'Amin' seseorang bertepatan dengan ucapan para malaikat, maka seluruh dosa-dosanya pada masa lampau akan dimaafkan."


Kesimpulan yang jelas dari Hadits di atas adalah bahwa fokusnya terletak pada waktu pengucapan ketimbang isinya. Saya harus berkata lain.

Jadi mengapa Nabi mengharuskan kaum Muslim untuk mengucapkan suatu kata dari Surah yang paling sering dibaca, dimana kata tersebut sama sekali tidak ada di dalam Al-Qur'an? Selain itu, pesan apa sebenarnya yang ingin beliau sampaikan kepada kaum Muslim dengan menyuruh mereka untuk "mengatur waktu" pengucapan 'Amin' dengan para malaikat agar dosa-dosa mereka di masa lampau diampuni? Nabi mustahil pernah mengatakan hal yang sangat menghinakan tersebut, karena kita bisa belajar dari Surah al-A'raf (QS 7) ayat 188 bahwa meskipun beliau, seorang rasul Allah, tidak mengetahui nasibnya sendiri.

Katakanlah: "Aku tidak berkuasa atas kemanfaatan atau kemudaratan bagi diriku kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". (7:188)

Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Pemelihara semesta alam.Seandainya dia mengada-adakan perkataan apapun atas nama Kami, niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi dari pemotongan urat nadi itu. (69:43-47)


Satu-satunya penjelasan yang masuk akal dari Hadits tersebut, seperti banyak Hadits lainnya, adalah ia merupakan suatu kedustaan yang diatasnamakan kepada Nabi Muhammad.

Asal-Usul Amin

Kata ini bisa diperkirakan masuk ke dalam ajaran tradisional Islam dari sumber-sumber ajaran Krisitani atau Yahudi hampir 200-300 tahun setelah kematian nabi ketika buku-buku Hadits mulai tercipta. Fakta bahwa 'Amin' datang dari sumber Yahudi masuk ke dalam ajaran Kristiani diakui oleh Catholic Encyclopedia Vol. 1 1907:


Terjemahan:
"Kata Amin adalah satu dari beberapa kata Hebrew (Ibrani) yang diadopsi tanpa perubahan ke dalam liturgi Gereja… 'Sangat sering kata Ibrani ini diucapkan Juru Selamat Kami,' berdasarkan observasi catechism (doktrin manual Kristiani) Council of Trent (Konsili Trent), sehingga menyenangkan Ruh Kudus untuk mengabadikan kata itu di dalam Gereja Allah."


Merupakan sesuatu yang ironis bawa Ruh Kudus (bentuk spiritual dari Tuhan) akan memohon untuk mengimplementasikan sesuatu setelah mendengarnya dari mulut Sang Juru Selamat (Yesus Kristus)!

Kata 'Amin' didefinisikan dalam Concise Oxford English Dictionary sebagai suatu interjeksi sekaligus kata benda yang bermakna 'so be it (maka jadilah/tetapkanlah)' dan diucapkan di akhir doa atau hymne. Huruf akarnya, AMN, mempunyai konotasi berikut dalam bahasa Ibrani modern: mendidik, melatih, benar, terpercaya, membenarkan, kepercayaan diri, kesetiaan, perjanjian. Akar kata ini nampak sinonim dengan akar kata Arab yaitu Alif-Mim-Nun. Dengan mempelajari akar kata ini di dalam Lughat-ul-Quran (Leksicon Al-Qur'an) karya G. A. Parwez Edisi ke-4, 1998 mengkonfirmasikan bahwa tidak terdapat penyebutan secara eksplisit kata 'Amin' atau 'Aamiin' di dalam Al-Qur'an.

Hubungan Terhadap Paganisme

Seorang Muslim tradisional mungkin akan mengatakan bahwa meskipun 'Amin' tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an, namun Nabi benar-benar menyuruh kita untuk diucapkan di dalam doa-doa kita. Selain itu, karena tidak ada yang salah dengan makna kata tersebut, maka tidak ada yang salah dengan penerimaan penggunaan kata tersebut.

Namun, asumsi ini dapat mempunyai implikasi yang serius jika kita telusuri asal-usul kata ini dalam sejarah, karena kita dapat menemukan bahwa kata 'Amin' memiliki konotasi berhala kaum Pagan. Dalam Columbia Encyclopedia, 6th Edition 2001 tertulis:

Terjemahan:
"Amon atau Amen (Amin), berhala Mesir. Dia pada aslinya merupakan dewa tertinggi Thebes; dia dan istrinya Mut dan anaknya Khensu merupakan tuhan-tuhan trinitas Thebes. Amon tumbuh menjadi penting di Mesir, dan pada akhirnya dia (dikenal sebagai Amon Ra, lihat Ra) menjadi dewa yang tertinggi. Dia diidentifikasikan dengan Zeus Yunani (Yupiter Romawi). Kuil Amon yang paling tersohor terletak di Siwa di gurun pasir Libya; peramalan Siwa lalu akan menjadi rival dari Delphi dan Dodona. Dia seringkali direpresentasikan sebagai kambing (ram) atau manusia berkepala kambing."


The Egypt Travel and Antiquities Guide dalam artikel mereka mengenai 'Amin' mendeskripsikan maknanya sebagai berikut:

Terjemahan:
"Dari semua atribut yang diberikan kepada Amen (Amin) dalam Kekaisaran Kuno tidak ada yang diketahui, namun, jika kita menerima arti 'hidden/tersembunyi' yang biasanya diberikan kepada namanya, kita harus menyimpulkan bahwa dia adalah personifikasi dari suatu kekuatan pencipta yang tersembunyi dan tidak diketahui yang diasosiasikan dengan masa awal yang penuh kegelapan (primeval abyss), dewa-dewa dalam penciptaan dunia, dan segala yang ada di dalamnya. Kata atau akar kata amen/amin, sudah pasti bermakna 'yang tersembunyi,' 'yang tidak terlihat,' 'yang tidak bisa dilihat,' dan semacamnya, dan fakta ini dibuktikan oleh banyak contoh yang dapat dikumpulkan dari teks bermacam-macam periode. Dalam hymne kepada Amen/Amin kita sering membaca bahwa dia 'tersembunyi terhadap anak-anaknya,' dan 'tersembunyi terhadap para dewa dan manusia,' dan telah dinyatakan bahwa ungkapan-ungkapan semacam ini hanya mengacu kepada 'bersembunyi' yakni 'terbenamnya' matahari setiap malam, dan ungkapan-ungkapan tersebut hanyalah harus dimengerti secara fisik, dan tidak memiliki arti lebih selain menghilangnya tuhan Amen/Amin dari penglihatan manusia di akhir hari. Nah, tidak hanya sang tuhannya sendiri yang dikatakan sebagai 'yang tesembunyi,' namun namanya pun 'tersembunyi,' dan bentuknya, or perumpamaannya, dikatakan sebagai sesuatu 'yang tidak diketahui'; pernyataan-pernyataan ini menunjukkan bahwa 'yang tersembunyi,' ketika diaplikasikan kepada Amen/Amin, sang tuhan besar, memiliki referensi kepada sesuatu yang lebih dari 'matahari yang menghilang di bawah horizon,' dan bahwa ia mengindikasikan suatu tuhan yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia, dia yang tidak terlihat, sekaligus tidak dapat diteliti, baik terhadap dewa-dewa maupun manusia."


Dapat diasumsikan bahwa "tuhan yang tersembunyi" ini tidak lain adalah Iblis yang telah berhasil untuk menipu tidak hanya kaum Muslim, naum juga kaum Yahudi dan Kristiani sampai hari ini!

Fakta bahwa penyembahan "Amen" dan "Amen-Ra" telah menjadi popular tidak hanya di kalangan orang Mesir namun orang asing yang tinggal di daerahnya atau pada masa tersebut dapat ditangkap dari kutipan berikut dari artikel mengenai "Amen":

"Pemujaan Amen-Ra menyebar ke segala penjuru negeri baik utara maupun selatan Thebes, dan monument-monumen membuktikan bahwa hal tersebut berhasil masuk ke dalam seluruh wilayah kekuasaan Mesir di Syria, dan Nubia, dan di Oasis. Di bagian Mesir Atas pusatnya terletak di Thebes, Herakeopolis Magna; di Mesir Bawah pusatnya terletak di Memphis, Sais, Xois, Metelis, Heliopolis, Babylon, Mendes, Thmuis, Diospolis, Butus, dan Kepulauan Khemmis; di gurun pasir Libya ada di Oasis Kenemet, (yakni Farafra), dan Oasis Yupiter Ammon; di Nubia, terletak pada Wadi Sabua, Abu Simbel, Napata, dan Meroe; dan di Syria terletak di beberapa tempat yang pada saat itu dikenal sebagai Diospolis."


Amen/Amin, lalu istrinya, Mut beserta si anak Khensu adalah representasi dari Triad Thebe, keluarga suci dari kaum Thebes. Amen/Amin dikenal sebgai "Raja para dewa" pada masa Kekaisaran Baru di Mesir pada 1550-1070 SM ketika Thebes merupakan ibukota Mesir, dan pada periode inilah kaum Yahudi berada di sana sebagai budak. Selama 400 tahun perbudakan, nampak jelas bahwa kaum Yahudi kehilangan keyakinan monotheisme mereka dan jatuh ke dalam paganisme Mesir. Jika dalam rentang waktu 40 tahun selama eksodus mereka dapat menciptakan berhala lembu emas yang konon bisa berbicara, apakah terlalu mengada-ada untuk mengasumsikan bahwa kata 'Amin' menyusup ke dalam ritual keagamaan mereka – kata yang dinamai setelah dewa Mesir – yang tidak hanya kaum Yahudi gagal untuk menghilangkannya namun juga diwariskan kepada kaum Kristiani dan Muslim?

Bagi para skeptis, yang mungkin berargumentasi terhadap koneksi antara dewa Mesir "Amen" terhadap kata dalam penggunaannya zaman modern ini, saya akan mengutip bagian akhir dari paragraf di bawah judul "Amen" dari Catholic Encyclopedia, Vol 1 1907, yang entah secara sengaja atau tidak mengakui koneksi tersebut:

Terjemahan:
"Pada akhirnya, kita dapat mencatat bahwa kata Amen/Amin tidak jarang muncul dalam inskripsi-inskripsi (tulisan-tulisan) kaum Kristiani awal, dan kata tersebut sering diperkenalkan ke dalam mantra-mantra anathema (sesuatu yang terkutuk atau terusir) dan gnostis. Lebih lanjut, berdasarkan huruf-huruf Yunani yang membentuk kata Amen/Amin menurut nilai numericnya berjumlah 99 (alpha=1; mu=40; epsilon=8; nu=50), angka ini seringkali muncul dalam inskripsi-inskripsi, terutama yang berasal dari Mesir, dan suatu macam efek magis seperti diatributkan kepad simbol tersebut. Perlu juga dicatat bahwa kata Amen/Amin masih digunakan dalam ritual kaum Yahudi dan Muhammadan (Muslim)."


Kesimpulan

Terdapat beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari artikel ini. Pertama, tidak ada penyebutan kata 'Amin' di dalam Al-Qur'an dan sayang sekali bahwa kata ini menyusup ke dalam Islam melalui Hadits. Meskipun pada umumnya seorang Muslim mengakui bahwa 'Amin' merupakan kata yang juga digunakan oleh kaum Kristiani dan Yahudi dalam doa mereka, dia membuat suatu asumsi yang implicit bahwa kata itu merupakan kata Qur'ani yang juga dapat ditemukan di dalam Bibel dan Taurat. Mungkin dia juga akan berargumentasi bahwa tidak ada yang salah dengan mengucapkan 'Amin' di dalam doa kita dikarenakan makna yang dimengerti pada saat ini. Namun demikian, pembaca yang cerdas haruslah menanyakan kepada dirinya sendiri apakah dia masih ingin terus menggunakannya setelah mengetahui konotasi pagan yang meragukan yang dimiliki kata ini? Tidakkah kita bisa mencari kata lain untuk mengekspresikan keyakinan kita kepada Sang Maha Kuasa?

Hasil alamiah artikel ini adalah bahwa ia mempertanyakan filosofi imbalan bersih dari dosa dengan mengucapkan kata ini yang dianut kaum Muslim tradisional yang sangat didukung oleh Hadits. Sekarang di mana kita bisa menemukan ayat yang mengusulkan bahwa kita bisa menebus dosa kita hanya dengan mengucapkan suatu "mantra sakti mandraguna"? Hanya dengan pembelajaran yang tuluslah terhadap Al-Qur'an seseorang akan mendapatkan kedamaian di dunia dan akhirat.

Akhir kata, terdapat suatu peringatan kepada mereka yang "di tengah-tengah" yang mengatakan bahwa hanya mempercayai Hadits yang "Shahih"/Otentik. Setelah membaca artikel ini, dapatkah seseorang benar-benar bisa memisahkan gula dari air gula ketika diharuskan untuk membedakan antara Hadits yang benar dan yang salah? Oleh karena itu penting sekali untuk kita semua untuk memverifikasi semua informasi yang kita terima.

Dan janganlah kamu pegang teguh apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (17:36)


Saya harap pembaca yang cerdas akan menolak semua sumber sekunder dan berpegang teguh kepada petunjuk SATU-SATUNYA – Al-Qur'an.

Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. (6:106)

alhamdulillah...

Minggu, 13 Maret 2011

AYAT SUCI DALAM KROMOSOM MANUSIA

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-qur’an dan sesungguhnya kami pula yg akan menjaganya" (QS. 15: 9)
Sebagaimana Firman Allah subhana wata’ala diatas yang menyatakan Pengakuan dan Jaminan akan keaslian kitab Suci Al Qur’an. Dan telah ditemukannya Fakta Ilmiah baru atas keajaiban Al Qu’ran bahwa Ayat-ayat Suci dalam Al Qur’an telah ditemukan dalam Kromosom Manusia oleh seorang Ilmuwan bernama Dr. Ahmad Khan. Dia adalah lulusan Summa Cumlaude dari Duke University. Walaupun ia ilmuwan muda yang tengah menanjak, terlihat cintanya hanya untuk Allah dan untuk penelitian genetiknya. Ruang kerjanya yang dihiasi kaligrafi, kertas-kertas penghargaan, tumpukan buku-buku kumal dan kitab suci yang sering dibukanya, menunjukkan bahwa ia merupakan kombinasi dari ilmuwan dan pecinta kitab suci.

Salah satu penemuannya yang menggemparkan dunia ilmu pengetahuan adalah ditemukannya informasi lain selain konstruksi Polipeptida yang dibangun dari kodon DNA. Ayat pertama yang mendorong penelitiannya adalah Surat “Fussilat” ayat 53 yang juga dikuatkan dengan hasil-hasil penemuan Profesor Keith Moore ahli embriologi dari Kanada. Penemuannya tersebut diilhami ketika Khatib pada waktu shalat Jum’at membacakan salah satu ayat yang ada kaitannya dengan ilmu biologi.

Minggu, 27 Februari 2011

ISRA MI'RAJ

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. (QS 17 : 1)

Isra mi'raj adalah peristiwa diperjalankannya Rasulullah dari masjidil haram di mekah ke masjidil aqhsa di Al-Quds (palestina), lalu dilanjutkan dengan menembus lapisan langit tertinggi sampai batas yang tidak dapat dijangkau oleh ilmu semua makhluq baik malaikat, manusia, dan jin. Semua itu ditempuh dalam semalam. Peristiwa itu sekaligus sebagai mukjizat mengagumkan yang diterima Rasulullah SAW.Peristiwa ini terjadi tanggal 27 Rajab, 11 tahun setelah kenabian Rasulullah

Peristiwa besar ini ditilik dari sejarahnya, terjadi setelah Rasulullah mengalami masa2 sulit perjuangannya menegakan agama Allah setelah ditinggal oleh orang2 terdekatnya. Beliau ditinggal oleh istrinya tercinta, Khadijah, yang setia menemani dan menghiburnya dikala semua orang mencemoohnya. Lalu beliau juga ditinggal oleh pamannya sendiri, Abu Thalib, yang walaupun kafir tetapi dia sangat melindungi aktivitas Nabi. Sehingga orang-orang kafir Quraisy semakin leluasa untuk melancarkan penyiksaannya kepada Nabi, sampai-sampai orang awam Quraisy pun berani melemparkan kotoran ke atas kepala Rasulullah SAW.

Minggu, 13 Februari 2011

SALAH KAPRAH TENTANG ‘AS SUNNAH & AL HADITS

Banyak diantara kita yang masih rancu dalam memahami As Sunnah dan Al Hadits. Mengira sama, padahal keduanya adalah hal yang sangat berbeda. As Sunnah adalah segala ucapan dan perbuatan Rasulullah, saat beliau masih hidup. Sedangkan Al Hadits adalah catatan para ulama hadits, yang baru dilakukan setelah Rasulullah wafat.

Saat Rasulullah masih hidup, beliau justru melarang para sahabat untuk mencatat ucapan dan perbuatan beliau. Karena dikhawatirkan akan mengacaukan catatan al Qur’an yang sedang dalam masa penulisan. Yakni, selama 23 tahun masa kenabian. Hal itu diungkap, salah satunya, dalam muqadimah Al Qur’an keluaran Arab Saudi, dalam bab penyusunan al Qur’an.

Bersabda Rasulullah SAW: Janganlah kalian tuliskan ucapan-ucapanku! Siapa yang (telanjur) menuliskan ucapanku selain al Qur’an hendaklah dihapuskan. Dan kamu boleh meriwayatkan (secara lisan) perkataan-perkataan ini. Siapa yang dengan sengaja berdusta terhadapku, maka tempatnya adalah di neraka.
(HR Muslim dari Abu Al Khudri).

Jumat, 04 Februari 2011

Masyriq dan Maghrib

Dari al-Isbagh bin Nabatah, bahawa Amirul Mukminin berkhutbah di masjid Kufah. Setelah menyampaikan Hamdalah, beliau berkata, " Wahai manusia, tanyalah kepadaku sebelum kalian kehilanganku. Sesungguhnya di dalam diriku terdapat ilmu yang luas. "

Lalu Ibnu al-Kawwa bangkit dan bertanya.

" Wahai Amirul Mukminin, apa artinya al-Dzariyati Dzarwa? "

Beliau menjawab, " Angin "

" Apa artinya al-Hamilatu Wiqra? " tanyanya kembali. " Awan ", jawab Imam Ali.

" Apa artinya al-Jariyatu Yusra? " tanyanya.

" Perahu-perahu ", Jawab Imam Ali.

" Apa ertinya al-Muqassimatu Amra? ", tanyanya.

" Para malaikat ", jawab Imam Ali.

Kamis, 03 Februari 2011

Islam menolak hukum rajam

Bismillahirrahmanirrahiim

Alhamdulillah, bahwa di negara kita yang mayoritasnya adalah umat muslim, sampai sekarang ini, saya belum pernah mendengar adanya hukum rajam (hukuman dilempar dengan batu sampai mati bagi para pezina) yang diterapkan untuk menghukum wanita dan pria yang berzina. Namun di Arab Saudi sana, dan mungkin juga di beberapa negara Timur Tengah hukuman rajam, melempari penzina dengan batu sampai mati diberlakukan, pendeknya hukuman ini didasarkan kepada buku diluar Al-Qur'an, malah dengan keterlaluannya ada hadits yang menyatakan bahwa hukum rajam tadinya ada di dalam Al-Qur'an namun kemudian hilang karena dimakan kambing?

Ibnu Qutaibah di dlm kitabnya Ta'wil Mukhtalaf al Hadits hal 310 cet. Darul Jamil dan Ahmad binHanbal di dlm Musnadnya jili...d 6 hal269 meriwayatkan yg berasal dr Aisyah yg berkata," Ayat rajamdan ayat radha'ah telah diwahyukan dan tertulis di dlmmushaf yg disimpan di bawah ranjangku. Akan tetapi, ketikakami sedang sibuk mengurus jenazah nabi, seekor kambingmasuk ke kamarku dan memakan mushaf tersebut".

Senin, 24 Januari 2011

10 Orang Sahabat yang Dijamin Masuk Surga

Sahabat Rasulullah SAW yang dijamin masuk surga (Al mubasirin bil jannah) berdasarkan hadits berikut: Tercatat dalam “ARRIYADH ANNADHIRAH FI MANAQIBIL ASYARAH“ dari sahabat Abu Dzar ra, bahwa Rasulullah masuk ke rumah Aisyah ra dan bersabda: “Wahai Aisyah, inginkah engkau mendengar kabar gembira?” Aisyah menjawab : “Tentu, ya Rasulullah.” Lalu Nabi SAW bersabda, ”Ada sepuluh orang yang mendapat kabar gembira masuk surga, yaitu : Ayahmu masuk surga dan kawannya adalah Ibrahim; Umar masuk surga dan kawannya Nuh; Utsman masuk surga dan kawannya adalah aku; Ali masuk surga dan kawannya adalah Yahya bin Zakariya; Thalhah masuk surga dan kawannya adalah Daud; Azzubair masuk surga dan kawannya adalah Ismail; Sa’ad masuk surga dan kawannya adalah Sulaiman; Said bin Zaid masuk surga dan kawannya adalah Musa bin Imran; Abdurrahman bin Auf masuk surga dan kawannya adalah Isa bin Maryam; Abu Ubaidah ibnul Jarrah masuk surga dan kawannya adalah Idris Alaihissalam.”

Kisah singkat 10 Sahabat

Senin, 17 Januari 2011

Metode Qur’ani Dalam Tafsir Al Qur’an!

Al Qur’an adalah kitab suci terakhir yang Allah turunlan untuk umat manusia. Ia diturunkan dengan bahasa dan dikemas dengan susunan yang indah. Sejak awal penurunanya Al Qur’an telah mendapat sambutan hangat dari kaum Muslim dan mengundang perhatian dan keingin-tahuan tentangnya dan tentang makna yang terkandung di dalamnya.
Allah SWT telah berjanji akan memberikan penjelasan atas firman yang Ia turunkan. Dan Dia juga mempercayakan Nabi-Nya untuk menjadi penafsir utama Al Qur’an. Allah SWT berfirman:

فَإِذا قَرَأْناهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ * ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنا بَيانَهُ.

Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.* Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya. (QS. Al Qiyamah;18-19(

وَ أَنْزَلْنا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ ما نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ.

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An Nahl;44 )
Karenanya tafsir Nabi saw. adalah tafsir yang tidak boleh diabaikan dan harus diutamakan! Ia adalah rujukan utama dan pertama dalam memahami tafsir ayat-ayat Al Qur’an disamping berujuk kepada Al Qur’an sendiri. Sebab ayat-ayat Al Qur’an itu saling mnjelaskan dan saling membenarkan! Nabi saw. bersabda:

إنما نزل يُصَدِّقُ بعَضُه بعَضًا

“Sesungguhnya Al Qur’an itu turun untuk saling membenarkan.”[1]
Allah SWT Memerintah Umat Manusia Agar Merenungkan Ayat-ayat Al Qur’an!
Tadabbur terhadap ayat-ayat Al Qur’an dengan mengindahkan syarat-syarat yang diperlukan adalah metode tafsir ideal. Allah SWT berfirman:

أَ فَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَ لَوْ كانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فيهِ اخْتِلافاً كَثيراً.

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisâ’;82)
Tentang ayat di atas, Ibnu katsir berkata, “Allah berfriamn memerintah mereka untuk tadabbur, merenungkan Al Qur’an dan melarang dari berpaling darinya dan dari mencari faham tentang makna-maknanya yang kokoh dan teks-teksnya yang balighah. Allah mengabarkan bahwa tiada di dalamnya perselisihan dan kekacauan, tdai juga terdapat pertentyangan, sebab ia turun dari Dzat Yang Maha Bijak dan Maha Terpuji. Ia adalah haq dari Dzat Yang Maha Haq… .”[2]
Perintah itu berlaku untuk semua dan di segala waktu. Ia tidak terbatas untuk generasi tertentu. Sebagaimana perintah itu butki kuat bahwa ayat-ayat Al Qur’an dapat direnungkan dan dapat dimengerti dan difahami maknanya. Sebab andai tidak, maka sis-sialah perintah untuk bertadabbur itu! Dan pemahaman itu bukanlah monopoli generasi tertentu! Dan tafsir produk para pendahulu tidak aula bit tibâ’/lebih berhak diikuti disbanding tafsir generasi lanjutan… bahkan bisa jadi tafsir generasi penerus lebih matang dan lebih mirip dengan kebenaran dan apa yang menjadi maksud Sang Pemfirmannya. Sebab yang menjadi i’tibâr/pengandalan adalah kesesuaiannya atau paling tida kedekatanya dengan kebenaran dan bukan keklasikan pengucapnya!
Nilai tafsir Salaf!
Karenanya, tidak ada keharusan memasung kecerdasan pemahaman seorang mufassir dengan pasung tafsir Salaf terdahulu. Sebab selain tidak ada dalil yang mengharuskan kita memasung diri dengan tafsir Salaf, ia akan mematikan keagungan Al Qur’an sebelum ia mematikan kreatifitas para mufassir! Karena Al Qur’an untuk semua generasi dan dia akan selalu tampil baru dan segar!
Burhânuddîn az Zarkasyi dalam al Burhan-nya menukil keterangan tentang keharusan berujuk kepada tafsir Tabi’în, di antaranya ia berkata, “Dan dalam berujuk kepada tafsir seorang tabi’i telah diriwayatkan dua riwayat (penukilan pendapat) dari Ahmad. Ibnu ‘Aqîl memilih menolak. Dan mereka menukilnya juga dari Syu’bah. … “[3]
Tentunya, jangan disalah-fahami bahwa kita tidak perlu menghiraukan tafsir Salaf. Akan tetapi, kita tidak boleh terpasung oleh tafsir Salaf dan atau menjadikannya sebagai hujjah yang wajib diikuti! Ibnu Taimiyah berkata, “Syu’bah bin Hajjâj dan selainnya berkata, “Ucapan-ucapan (pendapat-pendapat) para Tâbi’în bukanlah hujjah, lalu bagaimana ia dapat dijadikan hujjah dalam tafsir?! Ustadz Adz Dzahabi berkata, “Dan kami condong berpendapat bahwa mengambil ucapan para Tâbi’în dalam tafsir tidaklah wajib, kecuali jika pada masalah-masalahyang tiada ruang bagi pendapat, ia dapat diambil ketika tidak ada keraguan padanya.”[4]
Dasar Keberagamaan Yang Salah!
Sebagian orang memasung diri dengan hanya membatasi pamahamannya terhadap ayat-ayat Al Qur’an hanya pada pemahaman Salaf… . Slogan mereka mengatakan, “Berujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman Salaf!” Ini adalah metode yang salah dalam mendasarkan keberagamaan.
Dalam memahami ayat-ayat tentang Tauhid, baik tauhid sifat maupun maalah-masalah terkait lainnya, misalnya mereka pasti akan dihadapkan dengan tumpukan ucapan Salaf yang saling kontradiksi satu dengan lainnya. Bahkan tidak jarang pula terdapat perbedaan penukila dari seorang dari Salaf! Dalam kondisi seperti ini, bagi yang memasung diri hanya dengan pemahaman Salaf pasti akan kesulitan… Dan pada akhirnya mereka mungkin terpaksa melakukan uji kualitas, mana di antara ucapan Salaf itu yang benar untuk diambil dan itu artinya, ucapan Salaf yang lainnya akan dicampakkan dan dibuang ke tong sampah yang menampung limbah-limbah aqwâl Salaf! Itu artinya pula bahwa konsep yang mengatakan harus berujuk kepoada Salaf adalah sesuatu yang sulit atau bisa jadi mustahil dipraktikkan! Sebagaimana kenyataan itu membuktikan bahwa para Salaf pun bertingkat-tingkat kualitas intelektualnya.
Kaum Pembid’ah Sulit Obyektif Dalam Mengikuti Salaf Shaleh!
Orang yang hanya mencari pembenaran atas nama Salaf akan sangat mudah melupakan Salaf kebanggaannya apabila ternyata ia menyelisihi akidah yang telah diadopsinya.
Seorang yang selama ini membanggakan seorang mufassir Salaf bernama Mujahid misalnya, dia tidak akan segan-segan melupakan dan mencampakkan sang Salaf andalannya itu ketika ternyata ia terbukti menafsirkan ayat 23 surah al Qiyamah dengan tafsiran yang merugikan doktrin lamanya.
Tentang tafsir ayat tersubut, telah diriwayatkan dari Mujahid dengan sanad bersambung melalui beberapa jalur bahwa ia menafsirkannya dengan menanti pahala Tuhan, bukan melihat Tuhan, seperti yang selama ini difahami ulama:

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ ناضِرَةٌ * إِلى‏ رَبِّها ناظِرَةٌ.

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.Terhadap (pahala) Tuhannyalah mereka menanti.
Ath Thabari berkata:

وقال آخرون: بل معنى ذلك: أنها تنتظر الثواب من ربها.

“Dan sebagian berpendapat: Akan makna ayat itu adalam, ‘Mereka menanti pahala dari Tuhan mereka.’”
Kemudian ath Thabari merangkum tafsir Mujahid tersebut melalui jalur:

حدثنا أبو كُرَيب، قال: ثنا عمر بن عبيد، عن منصور، عن مجاهد ( وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر منه الثواب.

قال: ثنا وكيع، عن سفيان، عن منصور، عن مجاهد ( إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر الثواب من ربها.

حدثنا ابن بشار، قال: ثنا عبد الرحمن، قال: ثنا سفيان، عن منصور، عن مجاهد ( إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر الثواب.

حدثنا ابن حميد، قال: ثنا مهران، عن سفيان، عن منصور عن مجاهد ( إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر الثواب من ربها، لا يراه من خلقه شيء.

حدثني يحيى بن إبراهيم المسعودي، قال: ثنا أبي، عن أبيه، عن جدّه، عن الأعمش، عن مجاهد ( وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ ) قال: نضرة من النعيم ( إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر رزقه وفضله.

حدثنا ابن حميد، قال: ثنا جرير، عن منصور، عن مجاهد، قال: كان أناس يقولون في حديث: « فيرون ربهم » فقلت لمجاهد: إن ناسا يقولون إنه يرى، قال: يَرى ولا يراه شيء.

قال ثنا جرير، عن منصور، عن مجاهد، في قوله: ( إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر من ربها ما أمر لها.

حدثني أبو الخطاب الحساني، قال: ثنا مالك، عن سفيان، قال: ثنا إسماعيل بن أبي خالد، عن أبي صالح، في قوله: ( وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ) قال: تنتظر الثواب.

1)      Dari Abu Kuraib, ia berkata, Umar ibn Ubaid menyampaikan kepada kami, dari Manshur dari Mujahid, “Menanti pahala dari-Nya.”
2)      Ia berkata, Wakî’ menyampaikan kepada kami dari Sufyan dari Manshûr dari Mujahid, “Menanti pahala dari Tuhannya.”
3)      Ibnu Basysyâr menyampaikan kepada kami, ia berkata, Abdurrahman menyampaikan kepada kami, ia berkata, Sufyan menyampaikan kepada kami dari Manshûr dari Mujahid, “Menanti pahala.”
4)      Ibnu Humaid menyampaikan kepada kami, ia berkata, Mahrân menyampaikan kepada kami dari Sufyan dari Manshûr dari Mujahid., ia berkata, ‘Mereka menanti pahala dari Tuhan mereka. Tiada akan melihat-Nya sesuatu apapun dari ciptaan-Nya.!’
5)      Yahya bin Ibrahim al Mas’ûdi menyampaikan kepada kami, ia berkata, ayahku menyampaikan kepada kami dari ayahnya dari kakeknya dari A’masy dari Mujahid, “Menanti rizki dan anugerah-Nya.”
6) Ibnu Hamîd menyampaikan kepada kami, ia berkata Jarîr menyampaikan kepada kami dari Manshur dari Mujahid, ia berkata, “Ada banyak orang berkata tentang hadis, ‘Mereka akan melihat Tuhan mereka.’ Maka aku berkata kepada Muhajid berkata, ‘Orang-orang berkata Dia akan dilihat!’ Mujahid berkata,Dia Maha Melihat dan tidak dapat dilihat oleh sesuatu apapun.
7)      Jarîr menyampaikan kepada kami dari Manshur dari Mujahid ia berkata, “Mereka menanti dari Tuhan mereka apa yang  Dia perintahkan.”[5]
Bagi mereka yang selama ini mengultus Salaf dan memasung diri hanya dengan menelan mentah-mentah apa yang dikatakan Salaf tentang ayat tertentu pasti berusaha keluar dari jeratan problem seperti ini… . Tetapi bagi yang punya keterbukaan dan tidak memandang tafsir Salaf sebagai hujjah, pasti ia akan kembali kepada metode tadabbur/perenungan ayat dan tidak akan menerima atau menolak tafsir Salaf kecuali atas dasar bukti… bukan atas dasar ucapan Salaf itu sendiri!

Tidak Semua Ayat Al Qur’an Telah Ditafsirkan Oleh Salaf
Masalah lain yang akan menghadang mereka yang mengebiri kreatifitasnya dalam memahami tafsir Al Qur’an adalah bahwa ternyata tidak semua ayat Al Qur’an tu telah ditafsirkan oleh generasi Salaf baik sahabat mapun tabi’în. Bahkan seperti yang kita ketahui bahwa Nabi saw. pun tidak menafsirkan seluruh ayat Al Qur’an. Atau paling tidak berdasarkan riwayat yang ada di tangan para ulama, ternyata banyak ayat yang terlewatkan tidak ada riwayat tafsir Nabi saw.!
Sumber Pengambilan Salaf Dalam Tafsir
Bagi Anda yang mengetahui sumber pengambilan Salaf dalam memahami dan menafsirkan Al Qur’an pasti ia tidak akan terjebak dalam kungkungan tafsir Salaf! Ustadz adz Dzahabi dalam kitabnya at Tafsîr wal al Mufassirûn menyebut empat sumber tafsir Salaf generasi awal; para sahabat:
(1)   Al Qur’an itu sendiri.
(2)   Nabi saw.
(3)   Ijtihad dan istimbâth/penyimpulan. Ketika mereka tidak menemukan keterangan tentang sebuah ayat dari Al Qur’an atau kesulitan mendapatkan keterangan dari Sunnah Nabi saw., mereka kembali kepada ijtihad dan menggunakan pikiran untuk menyimpulkan pendapat.
(4)   Pendapat Ahlul Kitab; Yahudi dan Nashrani.[6]
(5)   Dan di sini dapat ditambahkan sumber kelima yaitu Bahasa Arab melalui syair-syair orang-orang Arab, seperti yang banyak dilakukan oleh Ibnu Abbas ra. Sebab syair-syair bangsa Arab adalah bagaikan kamus yang merangkum kata-kata yang asing didengar oleh kebanyakan orang sekali pun. Sayyidina Umar ra. berkata, “Hendaknya kalian memerhatikan diwân kalian  agar kalian tidak tersesat!” Mereka berkata, ‘Apa yang Anda maksud dengan diwân kami? Ia menjawab, “Syair-syair bangsa Arab masa jahiliyah. Di dalamnya terdapat tafsir Kitab suci kalian dan makna pembicaraan kalian.”[7]
Adapun Salaf generasi tabi’în maka pengambilan mereka dalam tafsir dapat kita rangkum sebagai di bawah ini:
(1)   Berujuk kepada Al Qur’an.
(2)   Mengindahkan tafsir Nabi san dan keterangan para Sahabat yang sampai kepada mereka.
(3)   Memerhatikan asbâb nuzûl dan kasus-kasus yang karenanya ayat itu diturunkan.
(4)   Berujuk kepada bahasa Arab, khususnya yang diabadikan dalam syair-syair mereka. Ibnu Abbas ra. menganjurkan para muridnya untuk memperhatikan dan merujuk syair-syair Arab untuk mengenali arti kata dalam ayat Al Qur’an.[8]
(5)   Mengandalkan ra’yu dan ijtihad melalui perenungan dan penyimpulan. Dalam arti mereka menafsirkan tanpa berujuk kepada tafsir Nabi saw. atau seorang dari sahabat pun. Dengan bertadabbur dan memerhatikan segala yang meliputi ayat yang hendak ia tafsirkan.
(6)   Merujuk peninggalan Ahlul Kitab; Yahudi dan Nashrani (Perjanjian lama dan Perjanjian Baru).
Setelah ini pasti Anda maklum bahwa tidaklah benar anggapan bahwa seorang mufassir harus memasung pemahamanannya dan membatasi diri dengan menjadikan tafsir Salaf sebagai hujjah yang tidak boleh keluar darinya! Sehingga apapun yang dipahami oleh seorang mufassir betapapun hebat dan luasnya ilmu yang ia miliki sebagai tafsir Khalafi yang konotasinya adalah bid’ah… mengada-ngada… tidak memiliki Salaf… dan akhirnya dicap tafsir liar! Sebab apapun yang tidak diambil dari Salaf pasti ia dihukumi liar!!
Ar Râghib al Ishfahâni berkata menjelaskan ruang lingkup seorang mufassir, “Manusia telah berbeda pendapat tentang tafsir al Qur’an, apakah ia boleh bagi setiap orang untuk menjeburkn diri di dalamnya? Sebagian orang berkeras sikap dan berkata, ‘Tidak boleh bagi seorang menafsirkan al Qur’an walaupun ia seorang yang alim/pandai, sastrawan Arab, luas pengetahuannya tentang dalil-dalil fikih, nahwu (tata bahasa Arab), akhbâr/berita dan atsâr/data-data yang dinukil. Yang boleh baginya hanyalah menyampaikan apa yang telah sampai kepadanya dari riwayat Nabi saw. dan dari orang-orang yang menyhaksikan turunnya al Qur’an yaitu para sahabat dan orang-orang yang menimba ilmu dari para sahabat yaitu tabi’în…. Dan yang lainnnya mengatakan, ‘barang siapa yang mendalami satra Arab maka boleh baginya menafsirkan Al Qur’an. Orang-orang berakal dan para sastrawan…
Kedua pendapat di atas adalah ghuluw (berkeras-keras) dan tafrîth (teledor). Barang siapa membatasi diri dengan apa yang dinukil maka ia benar-benar meninggalkan banyak hal yang ia butuhkan. Dan barang siapa membolehkan siapa saja menafsirkan Al Qur’an maka ia telah menjadikannya sasaran kekacauan dan tidak mengindahkan firman-Nya:

كِتابٌ أَنْزَلْناهُ إِلَيْكَ مُبارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آياتِهِ وَ لِيَتَذَكَّرَ أُولُوا الْأَلْبابِ.

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat- ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang- orang yang mempunyai pikiran. (QS. Shad;29(.[9] Setelahnya ia menjelaskan sepuluh syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir.
Bukti Nyata!
Bukti nyata adalah bahwa para ulama islam di sepanjang zaman melibatkan diri dalam tafsir Al Qur’an dan tidak membatasi diri hanya terpaku dengan tafsir yang dima’tsurlkan dari Salaf dengan segala hormat kita semua kepada Salaf!
Karenanya, ucapan seorang yang mengaku Salafi, “Tunjukkan siapa Salaf kamu dalam pemahaman ayat ini atau itu?!” “Tafsir kamu adalah tafsir Khalafi.. tafsir bid’ah dll. adalah ucapan seorang santri abangan yang terkesan awam tapi sok Salafi… terkenal dangkal tapi sok peneliti… dan akhirnya mengundang keprihatinan mendalam bagi para ulama muhaqqiqûn!
Semoga Allah SWT senantiasa berkenan membimibng kita semua ke jalan-Nya. Amîn.

[1] Tafsir Ibn Katsir,1/529.
[2] Ibid.
[3] Al Burhan Fî ‘Ulûmil Qur’ân,2/158.
[4] At Tafsîr wal al Mufassirûn,1/128-129 rujuk juga Muqaddimah Ushul at Tafsîr; Ibnu Taimiyah:28-29, Fawâtih ar Rahamût,2/188 dan al Itqân,2/179..
[5] Tafsir ath Thabari,29/192-193. Setelah menyebutkan perbedaan ahli ta’wil tentang ayat di atas dan setelah merangkum tafsir Mujahid, Ibnu Jarîr ath Thabari menimbang dan kemudian memutuskan menolak tafsir Mujahid!
[6]Keterangan lengkap dipersilahkan merujuk ke at Tafsîr wal al Mufassirûn,1/36-62.
[7] at Tafsîr wal al Mufassirûn,1/74.
[8] Ibid.
[9] Mukaddimah Fi at Tafsîr:93.

http://abusalafy.wordpress.com/2011/01/17/metode-qur%E2%80%99ani-dalam-tafsir-al-qur%E2%80%99an/

Sabtu, 15 Januari 2011

MENJAWAB FITNAHAN POLIGAMI NABI MUHAMMAD SECARA ILMIAH

Tuduhan :
Nabi Muhammad adalah tokoh pertama yang menyalahi hukum qur'an dalam hal nikah, dimana qur'an membolehkan bagi seorang lelaki muslim nikah dengan empat orang perempuan, sedangkan Nabi Muhammad adalah pengagum nafsu sex dan pecinta wanita, beliau menyalahi hukum dengan menikahi sembilan orang perempuan. Yang lebih aneh lagi, qur'an menyifati beliau dengan sebaik-baik suri tauladan.

Klarifikasi :
Mengapa Rasulullah Saw. tidak membatasi empat orang isteri saja, padahal qur'an membatasi jumlah isteri ketika beliau sedang beristeri sembilan orang, dan mengapa tidak ditalak selebihnya?

Jawabannya;
di ayat lain, Allah telah mengharamkan isteri-isteri beliau nikah dengan umatnya, karena status mereka adalah ummahat (ibu-ibu kaum muslimin) (Q.S: al-Ahzab: 6 dan 53).

Selasa, 28 Desember 2010

Keakuratan QUR'AN dalam surah An Nisaa 56

Rahasia apakah yg ada di Surah An NISAA(4):56.
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka.
Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan adzab.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

apa yg didapat dari ayat itu? pernahkah kita terfikir? kenapa ALLAH mengganti kulit mereka yg disiksa? bukankah lebih mudah dibiarkan saja, biarlah mereka terbakar menjadi debu, baru dihidupkan lagi.
jawabannya adalah kalimat selanjutnya, "supaya mereka merasakan adzab, Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana"

Minggu, 26 Desember 2010

IQRA yang sesungguhnya

Arti kata 'IQRA' dan 'UTLU' dalam quran itu sama sama Bacalah! Keduanya sama-sama kata perintah untuk membaca.

Tetapi di Qur'an tidak ada penggunaan sinonim. Jika pada satu ayat Allah menggunakan kata yang berbeda dengan kata pada ayat lain, maka maksudnya pasti berbeda.

Maksud kata UTLU adalah membaca dengan berbagai cara berbagai sumber yang telah jelas kebenarannya.

Sedangkan maksud kata IQRA adalah membaca dengan berbagai cara berbagai sumber tanpa mempedulikan kebenarannya.

Jumat, 24 Desember 2010

Analisis Gabungan QS. Al Anfaal 28 dan Al Mu'minuun 62

Al Anfaal 28. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.

Al Mu'minuun 62. "Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang membicarakan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya."

Jika harta dan anak merupakan cobaan untuk seseorang untuk melampaui batas maksimum kemampuannya, maka sebenarnya kesulitan yang menyertai hadirnya seorang anak pasti akan dibarengi dengan kemampuan orang tuanya yang sangat pas untuk mengatasi kesulitan itu.

Istilah sederhananya mah jodoh atau klop. Karakter anak yang begini hanya cocok untuk menguji karakter orang tua yang begitu, karena akan memunculkan kemampuan orang tua hingga level sekian dan kemampuan anak hingga level sekian. Karena Allah menyukai orang-orang yang berpikir, maka hanya orang tua yang mau berpikir, bersabar dan berusaha maksimal saja yang berhasil mendidik anaknya.

Analisis QS. Al Anfaal 28

Al Anfaal 28. "Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar."

Harta dan anak itu cuma sebagai cobaan, bukan yang lain. Kata yang dipakai disana adalah fitnah yang berarti cobaan atau ujian. Qur’an jika membahas suatu objek selalu punya konsistensi. Jika yang dibahas disitu dikatakan sebagai cobaan, maka akan selalu menjadi cobaan. Tidak pernah jadi rezeki.

Jika masih mengira bahwa mendapat harta dan uang itu mendapat rezeki, maka masih ada pemahaman yang harus diperbaiki.

Jika masih mengira bahwa anak itu merupakan aset orang tua di masa depan, maka masih ada pemahaman yang harus diperbaiki.

Mukjizat Al-Qur'an Terungkap: Api di Dasar Laut

Subhanallah! Baru-baru ini muncul sebuah fenomena retakan di dasar lautan yang mengeluarkan lava, dan lava ini menyebabkan air mendidih hingga suhunya lebih dari seribu derajat Celcius. Meskipun suhu lava tersebut luar biasa tingginya, ia tidak bisa membuat air laut menguap, dan walaupun air laut ini berlimpah-ruah, ia tidak bisa memadamkan api. Allah bersumpah dengan fenomena kosmik unik ini.
Firman-Nya: "Ada laut yang di dalam tanahnya ada api" (Qs. Ath-Thur 6).
Nabi SAW bersabda: "Tidak ada yang mengarungi lautan kecuali orang yang berhaji, berumrah atau orang yang berperang di jalan Allah. Sesungguhnya di bawah lautan terdapat api dan di bawah api terdapat lautan."

Selasa, 14 Desember 2010

Benarkah Bintang Terang Bethlehem Nyata

Liputan 6 - Selasa, 14 Desember

Liputan6.com, Los Angeles: Legenda mengenai bintang yang muncul di langit tepatnya di kota Betlehem yang memimpin tiga orang majus ke palungan, tempat di mana bayi Yesus terbaring telah diperdebatkan selama beberapa waktu, demikian dirilis Telegrapah, Senin (13/2).

Pertanyaannya apakah bintang terang tersebut benar-benar nyata Penjelasan yang mungkin adalah bintang tersebut merupakan konjungsi antara planet Jupiter dan Venus yang tampak seperti bintang terang. Bintang tersebut muncul sekitar abad kedua sebelum masehi.

Jika hipotesis tersebut benar, kita dapat memprediksikan tanggal yang tepat bagi hari Kelahiran Kristus yaitu jatuh pada 17 Juni, abad kedua sebelum masehi. (Vin)

Sabtu, 11 Desember 2010

Alquran dan Hermeneutika Inklusif

NUZULUL Quran adalah hari di mana kalam Tuhan turun ke bumi melalui Nabi Muhammad yang berperan sebagai mediator. Sebuah proses yang ajaib; firman Tuhan yang gaib dan transenden menjelma ke dalam bentuk imanen, yakni teks yang berisi kalimat sakral dan memiliki nilai sastrawi yang amat tinggi.

Alquran ada untuk manusia. Memang ia adalah sebentuk teks yang menempati posisi tertinggi dalam hierarki teks-teks pedoman umat Islam. Tapi, posisinya yang tinggi tidaklah bersifat eksklusif, melainkan inklusif. Alquran sangat terbuka untuk berbagai corak pemaknaan dan penafsiran.

Selama ini sudah banyak muncul kegelisahan yang menyatakan bahwa akar problema terbesar dari kemunduran peradaban Islam berkaitan dengan bagaimana umat Islam berhubungan dengan kitab sucinya itu. Alquran sering diposisikan secara eksklusif, tidak sembarang tangan dan pikiran boleh menyentuh dan menafsirinya.

Selasa, 23 November 2010

HADIS YANG DIPAKAI PENENTANG POLIGAMI

HADIS YANG DIPAKAI PENENTANG POLIGAMI YANG MENGATAKAN RASULULLAH SENDIRI BERPOLIGAMI TAPI MELARANG ALI MENANTUNYA UNTUK BERPOLIGAMI

Landasan penolakan Rosul pada Ali utk berpoligami

Sering dikutip oleh sebagian penulis bahwa Rasulullah SAW, kendati mempraktekkan poligami, tetapi menolak Ali yang hendak memadu Fatimah ra dengan anak perempuan Abu Jahal.

Penolakan tersebut didasarkan pada sebuah hadits, dimana Rasulullah mengatakan "Sesungguhnya Bani Hisyam ibn Mughirah meminta izin untuk menikahkan putri mereka dengan Ali ibn Abu Thalib Maka aku tidak mengizinkan, kemudian aku tidak mengizinkan, kemudian aku tidak mengizinkan." (Hadits Sahih dan diriwayatkan oleh Imam Muslim (2449), Abu Daud (2071), Turmudzi (3867, Ibnu Majah (1998), Nasa`i )

MISTERI TERBELAHNYA BULAN

Allah SWT berfirman: "Sungguh telah dekat hari qiamat, dan bulan pun telah terbelah (Q.S. Al-Qamar: 1)"

Dalam temu wicara di televisi bersama pakar Geologi Muslim, Prof. Dr. Zaghlul Al-Najar, salah seorang warga Inggris mengajukan pertanyaan kepadanya, apakah ayat dari surat Al-Qamar di atas  memiliki kandungan mukjizat secara ilmiah ? Maka Prof. Dr. Zaghlul Al-Najar menjawabnya sebagai berikut :

Minggu, 21 November 2010

Penjelasan tentang Khawarij

Khawarij adalah kelompok yang muncul pada waktu Perang Shiffin ketika Ali dan Muawiyah menyetujui penunjukan dua orang hakim penengah guna menyelesaikan pertikaian diantara keduanya. Sebenarnya sampai saat itu mereka adalah para pendukung Ali namun kemudian secara tiba-tiba mereka berbalik ketika berlangsungnya tahkim, dan berkata kepada kedua kelompok tersebut,”Kalian semuanya telah menjadi kafir dengan memperhakimkan manusia sebagai ganti memperhakimkan Allah diantara kalian.”

Beberapa waktu kemudian mereka makin menjadi orang-orang yang sangat ekstrim dalam pendapat-pendapat mereka dan sangat jauh melewati batas. Dan karena watak mereka itu lebih cenderung kepada kekerasan, maka mereka menyerukan memerangi setiap orang yang berlawanan dengan mereka dan melakukan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintahan yang zhalim (tidak sah). Oleh sebab itu, untuk waktu yang lama sekali mereka telah membangkitkan keonaran dimana-mana dan lebih cenderung membunuh dan menumpahkan darah sampai saat mereka dapat dimusnahkan di zaman kekuasaan Bani Abbas.

The Best Payment Processor.

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.