Minggu, 13 Februari 2011

SALAH KAPRAH TENTANG ‘AS SUNNAH & AL HADITS

Banyak diantara kita yang masih rancu dalam memahami As Sunnah dan Al Hadits. Mengira sama, padahal keduanya adalah hal yang sangat berbeda. As Sunnah adalah segala ucapan dan perbuatan Rasulullah, saat beliau masih hidup. Sedangkan Al Hadits adalah catatan para ulama hadits, yang baru dilakukan setelah Rasulullah wafat.

Saat Rasulullah masih hidup, beliau justru melarang para sahabat untuk mencatat ucapan dan perbuatan beliau. Karena dikhawatirkan akan mengacaukan catatan al Qur’an yang sedang dalam masa penulisan. Yakni, selama 23 tahun masa kenabian. Hal itu diungkap, salah satunya, dalam muqadimah Al Qur’an keluaran Arab Saudi, dalam bab penyusunan al Qur’an.

Bersabda Rasulullah SAW: Janganlah kalian tuliskan ucapan-ucapanku! Siapa yang (telanjur) menuliskan ucapanku selain al Qur’an hendaklah dihapuskan. Dan kamu boleh meriwayatkan (secara lisan) perkataan-perkataan ini. Siapa yang dengan sengaja berdusta terhadapku, maka tempatnya adalah di neraka.
(HR Muslim dari Abu Al Khudri).

Hadits baru mulai ditulis dan dibukukan di zaman khalifah Umar bin Abdul Azis (717-720 M) dan khalifah-khalifah penerusnya. Meskipun, Rasulullah sudahmelarang untuk menulisnya, dan tidak pernah memberikan perintah untuk membukukannya. Tetapi, sang Khalifah memutuskan berijtihad untuk melakukannya dengan sejumlah pertimbangan.

Peristiwa itu terjadi, setelah lebih dari 100 tahun wafatnya Rasulullah SAW. Sang Khalifah memerintahkan untuk melakukan penelusuran kepada orang-orang yang dianggap bisa dipercaya, sambung-menyambung dari generasi saat itu ke generasi bapaknya, ke bapaknya lagi, ke bapaknya lagi, sampai ke zaman para sahabat yang hidup bersama Rasulullah. Karena itu redaksi hadits adalah: katanya si A, dari si B, dari si C, dan seterusnya.

Jadi, penulisan Hadits tidak dilakukan atas perintah Rasul (bahkan dilarang di zaman beliau masih hidup) dan dengan sendirinya tidak berada di bawahpengawasan beliau, sebagaimana Al Qur’an. Hadits adalah murni karya ilmiahpara ulama. Yang tentu saja keotentikannya sangat jauh di bawah al Qur’an, yang dikodifikasi langsung di bawah pengawasan Rasulullah, serta dijamin keotentikannya oleh Allah.

QS. Al Hijr (15): 9
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kamibenar-benar memeliharanya.

Maka, bermunculanlah para ulama hadits dengan berbagai karyanya. Diantaranya adalah Imam Malik bin Anas, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah, At Turmudzi, Abu Dawud, dan An Nasai. Mereka adalah para ilmuwan hadits yang karyanya banyak dirujuk oleh umat Islam sesudahnya. Tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Hadits itu bukanlah As sunnah itu sendiri. Melainkan sebuah upaya untuk menelusuri As sunnah.

Sehingga adalah salah kaprah kalau ada yang menuduh orang yang tidak menggunakan hadits disebut-sebut sebagai inkar sunnah. Bahkan inkar Rasul (?) Orang itu pasti tidak paham beda antara al hadits dan as sunnah. Dan ’lupa’, bahwa wasiat yang ditinggalkan oleh Rasulullah kepada umat Islam bukanlah Al Qur’an dan Al Hadits, melainkan Al Qur’an dan As Sunnah.

As Sunnah adalah keteladanan beliau yang bisa diceritakan dalam berbagai bentuk. Ada yang lewat riwayat lisan sebagaimana zaman 100 tahun pertama setelah beliau wafat. Saat itu, memang belum ada hadits yang dituliskan. Atau, bisa juga dalam bentuk tertulis seperti karya-karya para ulama hadits. Atau, bisa juga berupa tradisi turun temurun lintas generasi seperti dicontohkan Rasulullah dalam bentuk shalat lima waktu, puasa Ramadan, zakat, dan ibadah haji-umroh. Semua itu, langsung merujuk kepada praktek yang dicontohkan nabi danditradisikan secara lintas generasi, sampai sekarang.

Mengenai penggunaan hadits, memang tidak harus. Melainkan adalah sebuah pilihan. Boleh menggunakan, boleh juga tidak. Jika hadits dirasa bisa memberikan tambahan penjelasan terhadap ayat-ayat Qur’an yang sedang dibahas, maka kita dianjurkan untuk menggunakannya. Tetapi, jika hadits itu dianggap malah merancukan pemahaman terhadap ayat Qur’an, sebaiknya tidak usah digunakan.

Imam Syafi’i pun tidak pernah menggunakan hadits Imam Bukhari, misalnya. Kenapa? Ya, karena Imam syafi’i hidup di zaman sebelum imam Bukhari. Jadi, hadits-hadits imam Bukhari itu memang belum ada di zaman beliau masih hidup.

Selain itu, yang perlu dimengerti adalah hal berikut ini. Hadits dimaksudkan untuk menjelaskan As Sunnah. Sedangkan As Sunnah dimaksudkan untuk menjelaskan Al Qur’an. Maka, sudah seharusnya hadits tidak boleh bertentangan dengan Al Qur’an. Bahkan harus bersumber dari al Qur’an. Cara mengutip hadits yang benar adalah dengan mengutip ayat Qur’an terlebih dahulu, baru kemudian mengutip haditsnya. Sayang sekali, diantara kita ada yang suka megutip hadits tanpa mengutip sumber ayat di dalam Al Qur’an. Dan tetap memaksakan hadits itu, meskipun tidak ada rujukannya di dalam al Qur’an. Padahal, bukankah fungsi hadits dimaksudkan untuk menjelaskan ayat Qur’an?

Hal berikutnya lagi yang perlu diketahui, bahwa ternyata tidak semua ayat Qur’an ada penjelasannya di dalam hadits. Hanya sekitar sepertiga saja dari jumlah ayat Qur’an yang ada asbabun nuzul-nya berupa penjelasan hadits. Selebihnya, yang lebih banyak, tidak ada penjelasan haditsnya. Jadi, bagaimana mungkin kita bisadiharuskan untuk menggunakan hadits, sementara haditsnya tidak ada?

Sangat banyak contoh yang bisa dikemukakan. Terutama ayat-ayat ilmu pengetahuan. Ambillah beberapa ayat berikut ini.

QS. Al Ghasiyah (88): 17-20
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Danlangit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana iaditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?

Anda tidak akan menemui penjelasan haditsnya, tentang bagaimana Allah menciptakan unta, langit, gunung-gunung, dan bumi. Karena, penjelasannya memang ada di ilmu pengetahuan alam: Biologi, Astronomi, dan Geologi. Bisa dipastikan, Anda tidak akan menemukannya di hadits. Lha wong di al Qur’an saja tidak dijelaskan. Kenapa? Karena ayat itu dimulai dengan kalimat: afala yanzhurun ~ apakah mereka tidak mengamati/ meneliti (langsung di lapangan). Jadi, ini adalah perintah untuk melakukan penelitian secara scientific. Dalam tataran ini al Qur’an bukan dijelaskan oleh hadits, melainkan dijelaskan oleh ilmu pengetahuan dan data-data empirik-nya.

Jangankan ayat-ayat ilmu pengetahuan, surat al Fatihah pun tidak ada catatanasbabun nuzul-nya. Sehingga, Anda tidak akan menemui penjelasan hadits tentang makna kata per kata yang sangat mendalam di surat yang disebut ummul kitab itu. Misalnya: Apa makna bismillahirrahmanirrahim. Apa maknaalhamdulillahirrabbil alamin. Apa makna Ar rahman Ar Rahim, dst.

Justru, di dalam al Qur’an-lah Allah memberikan petunjuk-Nya. Bahwa yang bisa mempelajari ayat-ayat Qur’an itu adalah para ulul albab ~ orang-orang yang mempunyai akal kecerdasan. Yakni, mereka yang memaksimalkan fungsi hati untuk merasakan kehadiran Allah dan fungsi pikiran untuk menganalisa ilmu-ilmu yang dihamparkan di alam semesta raya ini, secara simultan.

QS. Ali Imran (3): 191
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah (dzikrullah) sambil berdiri, duduk dan dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan (tafakur) tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Maka, sudah seharusnya umat Islam meletakkan sumber-sumber hukum Islam secara proporsional. Bahwa sumber dari segala sumber hukum yang bersifat mutlak adalah Firman Allah, al Qur’an al Karim. Setelah itu, adalah As Sunnah, ketika Rasulullah masih hidup. Setelah itu, adalah buku-buku Hadits, ijtihad para ulama, dan bukti-bukti empiris ilmu pengetahuan, yang terus berkembang ke masa depan...

Wallahu a’lam bishshawab

By. Agus Mustofa

2 komentar:

  1. menarik sekali pembahasan saudara mengenai al hadits dan keotentikannya, namun saya sedikit kurang sepakat mengenai pendapat anda yang tidak terlalu mendalami ayat per ayat bahkan huruf per huruf karena pada kenyataannya pengartian al quran pun berjalan sangat sulit dan memakan waktu puluhan tahun sehingga dapat kita lihat ada sebuah makna dibalik makna, sehingga usaha untuk mendalami al quran dengan ijtihad secara sufistik tidak boleh dihalangi dan tetap menghormati buah pikir para alim ulama yang ada karena tingkatan keilmuan yang mereka miliki tidak bs kita tawar, sehingga seperti dalam konsep hukum syariat sebagai law dan hadits sebagai law jurisprudence ass.wr.wbr

    BalasHapus
  2. @Anonim.

    tulisan diatas bukan tulisan saya. tapi saya setuju dgn isinya. itu sebabnya saya postkan.

    masalah penafsiran QUR'AN secara sufistik atau kajian history, huruf dan tata bahasa,bagi saya itu semua adalah "tools" yg kita pakai untuk memudahkan dalam memahami QUR'AN. tentu saja saya tidak menolak pendapat itu. yg tidak saya setujui adalah mempercayai sebuah pendapat secara membabi buta tanpa menguji terlebih dahulu pendapatnya.

    BalasHapus

The Best Payment Processor.

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.