NUZULUL Quran adalah hari di mana kalam Tuhan turun ke bumi melalui Nabi Muhammad yang berperan sebagai mediator. Sebuah proses yang ajaib; firman Tuhan yang gaib dan transenden menjelma ke dalam bentuk imanen, yakni teks yang berisi kalimat sakral dan memiliki nilai sastrawi yang amat tinggi.
Alquran ada untuk manusia. Memang ia adalah sebentuk teks yang menempati posisi tertinggi dalam hierarki teks-teks pedoman umat Islam. Tapi, posisinya yang tinggi tidaklah bersifat eksklusif, melainkan inklusif. Alquran sangat terbuka untuk berbagai corak pemaknaan dan penafsiran.
Selama ini sudah banyak muncul kegelisahan yang menyatakan bahwa akar problema terbesar dari kemunduran peradaban Islam berkaitan dengan bagaimana umat Islam berhubungan dengan kitab sucinya itu. Alquran sering diposisikan secara eksklusif, tidak sembarang tangan dan pikiran boleh menyentuh dan menafsirinya.
Meminjam istilah Zuhairi Misrawi (2003), umat Islam cenderung berhadapan dengan Alquran secara monolog dan bukan dialog. Akibatnya, mayoritas umat Islam merasa cukup qurani dengan cara melafalkan dan menghafal Alquran saja. Dalam hal mengaplikasikan ajaran Alquran, umat Islam cenderung tekstualis dan skripturalistik semata. Monologisme itulah yang mempersempit pintu pemaknaan Alquran. Sebab, keterpakuan terhadap teks membuat manusia miskin akan pengalaman metateks atau miskin pemahaman makna transenden di balik teks.
Maka, kontekstualisasi penafsiran Alquran menjadi hal terpenting yang perlu terus dilakukan dan diperbarui tanpa henti sejalan dengan gerak realitas kultur yang juga rentan dengan perubahan. Tradisi hermeneutika Alquran yang dinamis, kreatif, dan membebaskan merupakan sarana utama untuk itu. Dan, kejumudan peradaban Islam dalam segala segmennya itu merupakan manifestasi kejumudan tradisi hermeneutika Alquran.
Golongan kaum muslim tertentu yang bersikap tertutup terhadap pembaruan tafsir Alquran biasanya cenderung fanatik terhadap tradisi tafsir Alquran periode awal, tradisi para sahabat, imam, dan ulama terdahulu. Padahal, dari dulu pun polemik ushul fiqih -yang tidak lain merupakan diskursus filosofis hermeneutika Alquran- sering terjadi. Konflik hermeneutika merupakan sebuah keniscayaan dalam kesejarahan Alquran sebagai poros sejarah umat Islam, dan suatu kenaifan apabila umat Islam justru menolak perbedaan (ikhtilaf) dalam mazhab-mazhab penafsiran. Bukankah Nabi sendiri bersabda bahwa perbedaan adalah rahmat karena di dalamnya terkandung hikmah.
Alquran Kauniyah
Barangkali yang selalu lupa untuk disadari oleh umat Islam, Alquran adalah bagian dari kebudayaan manusia. Ada semacam ketidaksadaran kolektif tertentu dalam diri umat Islam untuk takut melihat Alquran sebagai suatu bentuk imanen dalam kehidupan berbudaya kita. Alquran rasanya harus selalu terpisah dari kehidupan duniawi yang hiruk pikuk dan banal. Padahal, Alquran tidak mengambang di angkasa. Ia ada dalam hiruk pikuk kehidupan sosial kita yang pahit dan cadas. Ia ada dalam setiap sudut semesta. Bahkan, ia ada dalam kegelapan.
Alquran bukanlah semata ayat-ayat qauliyah sebagaimana yang tertuang dalam teks (scriptura) kitabnya. Alquran adalah ayat-ayat semesta. Bagi kaum ilmuwan sains alam (natuur wizkunde), anasir alam semesta adalah Alquran. Bagi kaum ilmuwan sosial, realitas masyarakat dan kebudayaan adalah Alquran yang harus senantiasa dibaca dan disikapi dengan bijak. Demikian seterusnya.
Bila kita kembali melihat sejarah Nuzulul Quran, tampaklah umat Islam saat itu mengalami pencerahan dengan datangnya sebuah kitab yang mampu menjawab pelbagai problematika umat. Alquran telah menjadi teks yang memetakan persoalan sosial umat muslim Arab secara objektif, sekaligus memberikan solusi serta nilai idealitas yang perlu dicapai masyarakat ke depan. Alquran menjadi das sollen bagi kebudayaan masyarakat saat itu.
Di situlah kita bisa melihat bahwa ayat qauliyah, ayat kauniyah, dan realitas kultur manusia secara ontologis merupakan suatu kesatuan siklikal yang saling melengkapi satu sama lain. Memang, di antara ketiganya terdapat paradoks yang kelam. Namun, justru di situlah tugas manusia sebagai khalifatullah untuk selalu bergerak mengharmonisasikan ketiganya.
Merayakan Tafsir
Agama adalah akal, dan tidak ada agama bagi yang tak berakal. Manusia dalam fitrahnya merupakan makhluk yang berakal. Akal berarti kesadaran inteligensia manusia yang termanifestasi dalam bentuk kognisi dan mental. Dalam membaca Alquran, mental dan kognisi bergerak aktif. Maka, tentunya tepat bila setiap tindak pembacaan teks dimaknai sebagai penafsiran. Membaca adalah ”menuliskan ulang” dalam bahasa mental dan bahasa pikir sang pembaca (Komaruddin Hidayat: 2003). Karena itu, salah satu fitrah manusia adalah ”the interpreter being”, makhluk penafsir.
Yang menjadi problematika tradisi tafsir dalam umat Islam adalah tugas penafsiran sering dihegemoni oleh kelas elite semata. Mufasir merupakan kelas sosial elite yang juga sering bersifat eksklusif. Padahal, pada konteks sejarah, kelas mufasir terbentuk karena kebutuhan sosial saat itu yang menuntut demikian. Jumlah masyarakat yang awam akan Alquran dan ilmu pengetahuan sangatlah banyak sehingga menuntut adanya pengorganisasian terhadap kelompok mujtahid-mufasir. Dengan begitu, mereka lebih mudah dalam mendistribusikan pengetahuan kepada umat.
Namun, di zaman yang sudah canggih dalam segi teknologi, informasi, serta ilmu pengetahuan ini, masyarakatnya juga cerdas. Karena itu, setiap orang harus diberi kebebasan dan hak untuk melakukan penafsiran personalnya atas Alquran. Sebab, setiap orang adalah mujtahid bagi dirinya sendiri.
Jangan khawatir akan munculnya sekte-sekte yang melenceng. Sebab, dengan strategi dialogis yang baik dan efektif, hal-hal yang dikhawatirkan itu akan bisa diselesaikan dengan tuntas. Apalagi, semakin hegemonik kelas mufasir mainstream dan semakin gencar represi terhadap hak menafsir, kesesatan justru akan semakin banyak bermunculan. Sudah saatnya kita mereformasi posisi kelas mufasir dalam tubuh masyarakat kita hingga dia menempati posisi yang demokratis dan mencerdaskan.
Kiranya, Nuzulul Quran menjadi momen yang tepat bagi masing-masing individu umat untuk merayakan kedekatan dengan Alquran secara personal itu.
Ridwan Munawwar, Esais, studi di Prodi Psikologi UIN Sunan Kalijaga.
http://www.jawapos.co.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar